'sampah' the tragedy

Tuesday, May 30, 2006

untung weh....


Celah Jendela Selamatkan Wawan dari Maut
HARI baru lepas magrib ketika Minggu (20/2) hujan mengguyur deras Kampung Cilimus, Desa Batujajar Timur, Kec. Batujajar, Kab. Bandung. Seperti juga daerah lain di Kab. Bandung dan kota-kota lain di Jabar, saat itu hujan memang bak air yang ditumpahkan serentak dari langit. Petir berkali-kali terdengar menggelegar ditimpali kilat sambar-menyambar.
Ket Gambar : WAWAN (kanan) dan Sulastri, korban bencana longsor masih terlihat depresi karena salah seorang putranya ikut tertimbun gundukan sampah.*DODO/"PR"
Kecuali suara angin, curahan air hujan, dan petir, suasana Kampung Cilimus yang terletak persis di bawah timbunan sampah TPA Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah Cimahi itu begitu senyap dari aktivitas penghuninya. Sungguh tak nyaman. Suasana seperti itu ditambah oleh dinginnya udara yang menusuk tulang, sudah cukup bagi warga untuk memilih tinggal di rumah masing-masing. Seiring berjalannya malam, sebagian warga pun menyelinap ke balik kamar, menutup pintu, untuk kemudian membungkus diri dengan selimut hangat. Tak ada yang berani berkeliaran di luar rumah.
Namun, tidak demikian halnya dengan keluarga Wawan (30), yang menempati sebuah rumah di RT 07/ RW 12. Bersama istrinya, Sulastri, Wawan tak bisa tidur. Hatinya gelisah. Kegelisahan itu dipicu oleh Gilang (9), anak sulung mereka, yang saat itu tengah menginap di rumah Emi (60), neneknya. Gilang biasanya suka tidur dengan bibinya, Nenti (26). Kendati rumah Wawan dan Emi tak terlalu jauh dan masih dalam satu kampung, entah mengapa sosok Gilang begitu menguasai pikiran Wawan dan Sulastri.
Setiap kali cahaya kilat berkilau dan disusul suara gelegar petir, saat itulah wajah Gilang berkelebat di kepala Sulastri. "Astagfirullah al'adzim..., ada apa dengan Gilang, Pak," seru Sulastri manakala wajah anak sulungnya itu kembali terbayang. Kegelisahan Sulastri semakin menjadi-jadi ketika Rizky (3), anak bungsu mereka, menarik-narik lengannya mengajak ke luar rumah. "Ma ka luar ma, di dieu mah sieun," rengek bocah hitam manis itu tanpa menyebutkan alasan mengapa dia tidak betah tinggal di dalam rumah.
Permintaan tak wajar itu tentu saja membuat Wawan dan Sulastri bingung. Dalam kondisi hujan deras seperti itu, tak mungkin Wawan meluluskan permintaan dan rengekan anaknya. Beberapa kali mereka berusaha ngabebenjokeun keinginan anak bontotnya. Pada saat itu terbersit pikiran untuk menyusul Gilang ke rumah neneknya. Namun karena hujan begitu deras, niat itu urung. Akhirnya Wawan mengajak Sulastri dan Rizky masuk ke peraduan.
Malam kian larut. Udara kian menggigit kulit dan menusuk tulang. Namun, kantuk sepertinya enggan hinggap di mata Wawan dan Sulastri. Mereka sulit memejamkan mata. Rasa gelisah rupanya sudah menguasai mereka. Kegelisahan itu menemukan muaranya ketika sekira pukul 0.00 WIB, dari arah tumpukan sampah di TPA Cireundeu, terdengar bunyi "greg, greg". Akan tetapi, Wawan belum hirau. Barulah ketika air mulai mengalir dan masuk membasahi lantai rumah, Wawan mulai curiga. "Semula suami saya hanya menduga kampung ini bakal dilanda banjir. Tak terbersit sedikit pun kampung bakal tertimbun longsoran sampah," ungkap Sulastri saat memaparkan kronologis bencana yang menimpa keluarganya, Senin (21/2). Untuk sementara, Sulastri dan Wawan tinggal di tempat pengungsian SDN Haurngambang, Desa Batujajar Timur.
Karena itu, lanjut Sulastri, Wawan hanya mengajaknya berdoa agar mereka selamat dari marabahaya. Namun sekira pukul 2.00 WIB, bunyi "greg... greg..." semakin kerap terdengar. Puncaknya, bunyi asing tersebut terdengar lebih kencang disusul dengan bunyi gemuruh disertai berderaknya pohon-pohon yang tumbang.
Tidak berapa lama kemudian, rumah mereka bergetar hebat seakan tertimpa beban yang sangat berat. Benar saja, hanya berselang beberapa detik, rumah mereka ambruk. Untung saja, kamar tempat mereka berlindung masih bisa menahan beban tumpukan sampah yang menindihnya sehingga tidak langsung rata dengan tanah. Meski demikian, mereka tetap histeris dan dilanda kepanikan karena terjebak di dalam kamar. Kalimat istigfar dan doa-doa pun dipanjatkan.
Di tengah kepanikan, naluri untuk menyelamatkan diri muncul dalam diri Wawan. Dia berusaha mencari celah-celah untuk bisa ke luar dari dalam kamar. Dalam kondisi gelap dan basah, Wawan meraba-raba dinding kamar, hingga akhirnya dia menemukan daun jendela. Dengan sekali tendangan, daun jendela tersebut jebol. Satu per satu mereka mencoba menerobos puing rumah dan tumpukan sampah dari celah tersebut. "Saat itu hujan masih deras sehingga ketika kami sampai di luar rumah, basah kuyup," ujar Sulastri sambil sesenggukan menahan tangis.
Meski basah dan menggigil, Wawan, Sulastri, dan Rizky bergeming. Mereka terus lari menerobos di antara derasnya air hujan, untuk menuju ke rumah Emi, di mana Gilang menginap. Tetapi langkah mereka terhenti, ketika sampai di lokasi, rumah Emi tak terlihat lagi. Yang ada di hadapan mereka hanyalah tumpukan sampah setinggi lebih kurang 30 meter. Begitupun dengan rumah-rumah para tetangga, seperti lenyap ditelan timbunan sampah.
Wawan tidak menerima kenyataan itu. Dengan cakarnya yang lemah, dia berusaha mengais-ngais sampah yang menggunung menutupi rumah ibunya. Akan tetapi, upaya itu sia-sia. Gundukan sampah terlalu tebal. Akhirnya Wawan ambruk kepayahan. Di tengah guyuran hujan dia menangis meraung-raung meratapi nasib orang-orang yang dicintainya.
Hingga Senin (21/2) petang, Wawan masih terlihat stres. Dia sama sekali tidak bisa diajak bicara. Nama Gilang, Emi, dan Nenti selalu dipanggilnya. Sesekali dia menepuk-nepuk dahinya sendiri. Menurut Sulastri, Wawan mungkin menyesal mengapa tidak segera menyusul Gilang, padahal nalurinya sudah mengajak melakukan hal itu.
Bisikan naluri kadang memang sulit dimengerti. Namun, naluri--dengan caranya sendiri--sering kali memberi banyak petunjuk tentang sebuah peristiwa. Sayangnya, kita hanya dikaruniai sedikit kemampuan membaca dan menerjemahkan naluri, yang bahkan datang dari diri kita sendiri-(Dodo Rihanto/"PR")*** doc PR,selasa,22feb2005

0 Comments:

Post a Comment

<< Home